Gunung Fuji (富士山 Fuji-san?, IPA: [ɸɯʥisaɴ]) adalah gunung tertinggi di Jepang, terletak di perbatasan Prefektur Shizuoka dan Yamanashi, di sebelah barat Tokyo. Gunung Fuji terletak dekat pesisir Pasifik di pusat Honshu. Fuji dikelilingi oleh tiga kota yaitu Gotemba (timur), Fuji-Yoshida (utara) dan Fujinomiya (barat daya). Gunung setinggi 3.776 m ini dikelilingi juga oleh lima danau yaitu Kawaguchi, Yamanaka, Sai, Motosu dan Shoji.

Gunung Fuji adalah simbol Jepang yang terkenal dan sering digambarkan dalam karya seni dan foto-foto, serta dikunjungi pendaki gunung maupun wisatawan.

Gunung Fuji diperkirakan terbentuk sekitar 10.000 tahun yang lalu. [1] Sebuah gunung berapi yang kini masih aktif walaupun memiliki kemungkinan letusan yang rendah, Fuji terakhir kali meletus pada tahun 1707. Terdapat lima danau di sekeliling Fuji, yaitu Danau Kawaguchi, Danau Yamanaka, Danau Sai, Danau Motosu dan Danau Shoji.

Sekitar 200.000 orang mendaki Gunung Fuji setiap tahunnya, 30% di antaranya orang asing. Tenggat waktu yang paling populer bagi para pendaki adalah dari 1 Juli hingga 27 Agustus. Pendakian bisa memakan waktu dari 3 hingga 7 jam sementara penurunan gunung mencapai sekitar 2 hingga 5 jam.

 
Jepang, sebuah negara yang terkenal dengan kemampuannya untuk menciptakan segala sesuatu ini kini sedang mengembangkan sebuah teknologi baru yang unik. Para pakar teknologi di jepang berusaha keras untuk menciptakan sebuah robot tercanggih.

 Menurut para ilmuan di negeri matahari terbit itu, robot yang canggih bukanlah robot yang mampu bergerak dengan cepat, robot yang mampu terbang di udara ataupun robot yang mampu berperang dan dapat membinasakan musuh, tapi, robot yang canggih adalah robot sederhana yang mampu berpikir dengan sendirinya.

Beberapa tahun silam banyak orang yang merasa pesimis bahwa robot yang mampu berpikir dengan sendirinya akan dapat diciptakan, namun kini jepang berhasil menepis anggapan lama itu. Sesuai perkembangan jaman saat ini yang semakin maju dengan cepat, perkembangan teknologi robot yang kian diperbaharui oleh para ilmuwan pun semakin maju dengan pesat.

Robot pintar yang kini sedang dikembangkan oleh Tokyo Institute of  Technology ini bernama Self-Organizing Incremental Neural Network (SOINN). Robot pintar ini dapat berpikir dengan sendirinya, diantaranya mampu melakukan hal yang belum pernah diprogramkan sebelumnya, belajar mengenali benda yang belum pernah dilihat sebelumnya dan satu lagi yang paling mutakhir, robot ini mampu mengkoneksikan diri dengan internet, sehingga dapat mengakses segala sesuatu yang terjadi di belahan dunia manapun untuk dipelajari.


Sumber : http://kolom-inspirasi.blogspot.com/2012/03/teknologi-robot-jepang-yang-mampu.html#ixzz1xIUHoIt3




 
saya sangat suka dengan budaya dan arsitektur negara jepang (boleh dibilang saya suka segala hal tentang jepang), walaupun hanya sempat melihatnya pada saat menonton dorama (film drama) di layar televisi, namun saya sangat tertarik dengan bagaimana terstrukturnya arsitektur di jepang.

untuk kali ini, saya akan coba membahas tentang arsitektur rumah tradisional di jepang.



Arsitektur rumah tradisional Jepang bermaterikan kayu sebagai bahan utamanya, anyaman tikar (tatami) sebagai penutup lantai dan perpaduan antara kayu dan kertas (shoji) sebagai dinding partisinya. Modul perencanaan ruang didasarkan atas ukuran 1 lantai tatami ( 176 x 88 cm ) yang disebut sebagai 1 jo. Kelipatan dari jo inilah yang menjadi dasar penentu luas suatu ruangan. Ruang berukuran standart biasanya terdiri dari 6 jo.

Tatami hanya dipasang di rg. tidur dan rg. keluarga/ rg. tamu, selain itu lantai dapur dan selasar menggunakan bahan vynil/ parquette. Lantai keramik jarang dipergunakan di Jepang….kecuali untuk KM/WC, rg. exterior dan fasilitas umum. Hal ini karena konstruksi rumah panggung tidak memungkinkan untuk menggunakan keramik.
Ketebalan tatami sekitar 3cm s/d 6cm, yang terdiri dari particel board yang dilapisi tikar. Konsep rumah panggung hingga saat ini masih diterapkan di Jepang, untuk mengantisipasi gempa bumi yang kerap melanda Jepang.
Potongan rumah panggung khas Jepang, hingga sekarang konstruksi seperti ini tetap dipergunakan.

Shoji, partisi geser antara ruang saat ini sudah jarang yang bermaterikan kertas, digantikan oleh kaca buram yang dapat bertahan lebih lama. Konstruksinya yang praktis membuat shoji dapat “buka pasang” setiap saat jika diperlukan.

Lemari ( oshiire ) yang dilengkapi dengan pintu geser ( fusuma ) dan dilapisi wallpaper, memiliki kedalaman 75cm, karena sebagai tempat menyimpan kasur gulung ( futon ), jika sedang tidak dipergunakan. Karena keterbatasan lahan di Jepang, rumah menjadi sangat mungil ukurannya, oleh karena itu sebuah ruangan dapat memiliki fungsi ganda. Pagi dan siang hari untuk rg. keluarga dan rg. makan, dimalam hari untuk rg. tidur.

Di area entrance biasanya terdapat rg. foyer/ penerima tamu/ genkan. Di ruang ini tamu harus melepaskan alas kakinya dan menggantinya dengan sandal rumah yang biasanya sudah disediakan, kebiasaan ini diperlukan untuk menjaga kebersihan dan keawetan dari tatami.

Kamar mandi biasanya dilengkapi bak untuk berendam, yang kedalamannya lebih dalam daripada bath tub. Sudah menjadi kebiasaan warga Jepang untuk berendam setelah lelah bekerja seharian.
Karena air dalam bak digunakan secara bergantian oleh anggota keluarga, maka sebelum berendam, biasanya mandi terlebih dahulu. Setelah itu bak ditutup agar air tetap hangat dan bersih……kemudian siap siap deh yang lain berendam…..jadi mirip-mirip kolam renang, hanya ini sistemnya perorangan ya? Bagaimana? ingin ikut berendam juga?

Closet di rumah tinggal umumnya sudah menggunakan closet duduk yang dilengkapi dengan aneka macam tombol untuk membilasnya, namum closet jongkok masih populer di Jepang, fasilitas umum biasanya menyediakan 2 jenis toilet ini.

Lebih lanjut tentang: Mengupas Rumah Kayu Jepang

sumber : http://id.shvoong.com/travel/websites-online-communities/1879588-mengupas-rumah-kayu-jepang/

by stories from admirer

 
Tatami (畳 tatami?) (secara harafiah berarti "lipat dan tumpuk") adalah semacam tikar yang berasal dari Jepang yang dibuat secara tradisional, Tatami dibuat dari jerami yang sudah ditenun, namun saat ini banyak Tatami dibuat dari styrofoam. Tatami mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam, dan sekelilingnya dijahit dengan kain brokade atau kain hijau yang polos.

Pada mulanya, Tatami adalah barang mewah yang dapat dimiliki orang kaya. Saat itu kebanyakan rumah orang miskin tidak memiliki lantai, melainkan tikar. Tatami kemudian menjadi populer diabad ke-17. Tatami menjadi modul desain kedua yang penting di abad ke-16 dan abad ke-17. Keseluruhan lantai ruangan tertutup dengan tatami, kolom adalah diposisikan menurut dimensi dan aransemen dari tatami

 
Onsen (温泉?) adalah istilah bahasa Jepang untuk sumber air panas dan tempat mandi berendam dengan air panas yang keluar dari perut bumi. Penginapan yang memiliki tempat pemandian air panas disebut penginapan onsen (onsen yado). Kota wisata yang berkembang di sekeliling sumber air panas disebut kota onsen.

Sumber air panas memiliki dua sumber panas, magma yang berada di dasar gunung berapi, dan panas yang bukan dari gunung berapi. Jenis mineral yang dikandung air menyebabkan perbedaan warna air, bau, dan khasiat mandi dengan air panas tersebut.

Menurut definisi Undang-Undang Onsen Jepang[1], walaupun suhunya tidak tinggi, istilah onsen juga digunakan untuk air dari mata air dengan kandungan mineral yang berbeda dari air biasa, dan berasal dari sumber air yang mengeluarkan gas. Sumber air panas bisa berupa air tanah yang dipanaskan oleh panas bumi atau dipanaskan manusia dengan sumber panas. Air panas bisa keluar secara alami dari dalam tanah, atau keluar setelah dibor manusia.

Lokasi untuk sumber air panas bisa berada dekat gunung berapi atau jauh dari gunung berapi. Sumber air panas yang berlokasi jauh dari gunung berapi mendapat panas dari gradien geotermal (suhu air semakin tinggi bila sumur digali semakin dalam) atau sumber panas yang tidak diketahui. Onsen yang berada di kawasan rawa gambut seperti Tokachigawa Onsen, Hokkaido disebut moor onsen (moor dalam bahasa Jerman berarti rawa).

 
Temari adalah simbol perfeksionisme di Jepang. Temari kerap dijadikan buah tangan  yang diberikan saat berbahagia. Dahulu temari juga dikenal sebagai "bola kesayangan para ibu" . Di  sekitar tahun 1800 hingga 1950, temari adalah mainan yang dibuat untuk anak-anak.

Simbol kesempurnaan Di dalam simbol-simbol Cina, mutiara bercahaya sering tampak dalam cengkeraman naga. Mutiara adalah simbol kemakmuran atau pun kekuatan alam.  Dalam parade tahun baru di Cina, biasanya boneka naga diarak memanjang bersama bola hias. Di depan gedung-gedung di Cina sering tampak sepasang patung singa menjaga pintu masuk. Singa betina tampak memeluk anaknya sedangkan singa jantan mencengkeram bola.

Kemungkinan temari diilhami dari bola sepak kulit gantung pria dewasa yang  berasal dari Cina. Penggunaannya mirip dengan sandsack masa kini, namun digunakan untuk disepak, bukan ditinju. Bukti adanya permainan ini tercatat dalam kitab peradilan kerajaan tahun 644. Bentuk bola sepak gantung ini seperti gabungan dua bakpao yang ditangkupkan dan diikat menyatu. Kemungkinan bola itu berisi rambut kuda atau rangka bambu berbalut kulit kandung kemih binatang.

Dalam perkembangan selanjutnya, bola berkembang menjadi bola lempar mainan anak-anak . Ketika perang berkecamuk, anak-anak kerap bermain di halaman atau di dalam rumah.  Karena ditujukan untuk anak-anak maka bola dibuat dari gulungan kain bekas, tikar ataupun bahan rajut. Bagian terluar yang menjadi pembungkus adalah kain atau pun kertas yang dijahit rapih dengan beragam warna indah.

Para wanita kerajaan di abad ke-17 bahkan mengadakan kontes bola tercantik dengan menggunakan beragam warna dan corak hiasan termasuk menggunakan teknik sulam Jepang yang halus menggunakan benang sutera. Corak taman dan bunga serta pohon menjadi favorit sementara corak lain adalah pola geometris seperti yang kerap kita lihat saat ini. Temari dengan sulaman halus ini tampaknya meniru kesempurnaan hiasan dalam mutiara bersinar yang menyimbolkan kebahagiaan dan kemakmuran.

Di Jepang ada berbagai jenis temari; bola Kuke dari Hachinoe, Aomori yang merupakan bola kertas berlapis kain perca dengan patron yang kaya warna. Tipe lain adalah bola Tsugi yang dilapisi potongan kain berpola persegi panjang. Bola Goten dari Yamagata terbuat dari kertas dan katun berhias benang. Di masa lalu, bola-bola ini dibuat oleh para dayang istana dan digunakan sebagai alat permainan di lingkungan istana namun sekarang bola ini lebih dikenal sebagai mainan rakyat. Temari memiliki masa lalu yang glamour di istana dan perlahan berubah menjadi seni kerajinan rakyat dan kerajinan rumahtangga seiring dengan bergantinya waktu dan kehidupan istana yang lebih konservatif. 

"Mingei" berarti kerajinan rakyat. Temari termasuk bagian dari hal ini. Mingei adalah kerajinan rakyat yang dibuat berdasarkan tujuan tertentu, kegunaan, keindahan dan digunakan oleh banyak orang dan jarang dibuat oleh seniman atau pun ahli kerajinan tangan. Sebagai kerajinan rumahan yang dibuat oleh kaum ibu dan nenek untuk menghibur para balita, tradisi temari mulai memudar lebih karena produksi mainan bola karet dan plastik yang lebih modern. Untuk mencegah kepunahannya, kini temari diproduksi di seluruh Jepang, terbuat dari kertas, gulungan kain atau pun katun yang dibebat dengan kain ataupun benang serta dihiasi dengan sulaman. Bola bola itu sekarang lebih mementingkan kompleksitas desain dan dibuat lebih sebagai hiasan dan tidak dimainkan lagi.

 
Kabuki, sebuah seni teater asli dari kebudayaan Negeri Sakura, Jepang. Posting mengenai Kabuki ini saya ambil dari berbagai sumber. Kabuki merupakan seni teater tradisional dan budaya asli dari Negeri Sakura, Jepang, yang memiliki nilai seni cukup tinggi, karena Kabuki adalah seni teater yang menggabungkan antara Bernyanyi dan Menari. Kekhasan dari Kabuki ini adalah dari make up yang dipergunakan dan pakaian khusus yang super mewah.

Dari sumber yang saya dapat, banyak pendapat tentang penamaan adalah kabusu yang ditulis dengan karakter kanji 歌舞(kabu) dengan ditambahkan akhiran す(su) sehingga menjadi kata kerja 歌舞す(kabusu) yang berarti bernyanyi dan menari. Selanjutnya disempurnakan menjadi, Kabuki (歌舞伎) yang ditulis dengan tiga karakter kanji, yaitu uta 歌(うた) (lagu), mai 舞(まい) (tarian), dan ki 伎(き) (tehnik). Setelah melalui beberapa perkembangan akhirnya kabuki ditulis dengan tiga karakter kanji yaitu uta 歌(lagu), mai 舞(tarian), dan ki 妓(teknik) yang kemudian karakter kanji ki 妓 diubah menjadi ki 伎, sehingga kabuki ditulis menjadi Kabuki 歌舞伎(かぶき) yang sekarang ini. Penamaan Kabuki dengan menggunakan tiga karakter kanji di atas, dikarenakan tiga karakter di atas dianggap sesuai dengan unsur-unsur yang ada di dalam pertunjukan teater kabuki itu tersebut. Adapun pada awalnya karakter ki, ditulis dengan 妓 dikarenakan kabuki pada awalnya lahir dari seorang seniman wanita yang bernama Okuni 阿国(おくに) dari Kuil Izumo.

Musik yang dipergunakan dalam pertunjukkan Kabuki terbagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang dimainkan di sisi kanan panggung dari arah penonton disebut Gidayūbushi. Takemoto (Chobo) adalah sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk kabuki. Selain itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut Geza Ongaku, sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut Debayashi.

Beberapa di antara istilah Kabuki diserap ke dalam perbendaharaan kata bahasa Jepang, misalnya:

  • Sashigane
Di atas panggung bila perlu adegan yang melibatkan aktor kabuki mengejar kupu-kupu atau burung, pembantu yang disebut Kōken (asisten di panggung yang sering berpakaian hitam) memegangi tongkat panjang yang diujungnya terdapat kupu-kupu atau burung yang disebut Sashigane. Dalam bahasa Jepang, istilah “Sashigane” digunakan dalam konotasi negatif “orang yang mengendalikan“.
  • Kuromaku
Di panggung pertunjukan Kabuki, malam dinyatakan dengan tirai (maku) berwarna hitam (kuro). Dalam bahasa Jepang, dalam istilah “sekai no kuromaku” (dunia tirai hitam) kata “kuro” (hitam) berubah arti menjadi “jahat“. Dalam bahasa Jepang “kuromaku” berarti Dalang seperti dalam arti “dalang kejahatan“.
Credits : id.emb-japan.go.jp
            en.wikipedia.org

 

Noh

6/9/2012

0 Comments

 
Noh atau No (Jepang:能 Nō) ialah bentuk utama drama musik Jepang klasik yang telah dipertunjukkan sejak abad ke-14. Noh tersusun atas mai (tarian), hayashi (musik) dan utai (kata-kata yang biasanya dalam lagu-lagu).Pelakon menggunakan topeng dan menari secara lambat. Zeami Motokiyo dan ayahnya Kan'ami membawa Noh kepada bentuk terkininya selama masa Muromachi.

Tipe drama Noh Potongan teater Noh diklasifikasikan dalam 5 kelompok.

  • Divine; pahlawannya bagaikan Tuhan, tokoh akhirat dsb. Pahlawannya berdoa di akhir drama.  
  • Shura-mono (Jawara); pahlawan (jarang pahlawati) ialah jawara, biasanya hampir mati.
  • Kazura-mono (Wanita); pahlawati dan sering romantika cintanya menjadi fokus.
  • Zatsu-no (Serbaneka) ; Noh yang tidak bisa dikelompokkan atas 4 kelompok lainnya.
  • Oni-noh (Oni; setan) ; bukan manusia, seperti oni, tengu, peri, singa ialah pahlawan dari jenis ini. Terutama dimainkan di akhir drama.
Pelakon Noh Biasanya, semua pelakon Noh ialah laki-laki. Kemampuan mereka telah dilatih ayahnya. Saat seorang wanita atau anak perempuan muncul di drama ini, aktor pria memainkan perannya dengan mengenakan topeng wanita.

Ada 3 macam pelakon Noh: shite, waki dan kyogen. Shitememerankan pahlawan maupun pahlawati. Ia berbicara, menyanyi, dan menari. Waki (berarti "pihak") berperan sebaai kawan Shite, dan biasanya memerankan peran pelancong di tempat tertentu. Ia memperkenalkan pemirsa dengan dunia drama. Kyogen muncul di pertengahan drama jika memiliki 2 bagian, dan berperan sebagai warga lokal. Ia berbicara kepada Waki dan menyuruhnya melihat apa yang belum dilihatnya sebelum pembicaraan mereka.

Musik Hayashi berarti instrumental musik, terdiri atas drum (Tuzumi, Taiko) dan seruling (Fue) yang biasa digunakan di teater.

 
Upacara minum teh (茶道 sadō, chadō?, jalan teh) adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chatō (茶の湯?) atau cha no yu. Upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate.

Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu. Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.

Teh bukan cuma dituang dengan air panas dan diminum, tapi sebagai seni dalam arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, agama, apresiasi peralatan upacara minum teh dan cara meletakkan benda seni di dalam ruangan upacara minum teh (chashitsu) dan berbagai pengetahuan seni secara umum yang bergantung pada aliran upacara minum teh yang dianut.

Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa-basi, etiket meminum teh dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan.

Pada umumnya, upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchadō.

Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh.


Sejarah Lu Yu (Riku U) adalah seorang ahli teh dari dinasti Tang di Tiongkok yang menulis buku berjudul Ch'a Ching (茶经) atau Chakyō (bahasa Inggris: Classic of Tea). Buku ini merupakan ensiklopedia mengenai sejarah teh, cara menanam teh, sejarah minum teh, dan cara membuat dan menikmati teh.

Produksi teh dan tradisi minum teh dimulai sejak zaman Heian setelah teh dibawa masuk ke Jepang oleh duta kaisar yang dikirim ke dinasti Tang. Literatur klasik Nihon Kōki menulis tentang Kaisar Saga yang sangat terkesan dengan teh yang disuguhkan pendeta bernama Eichu sewaktu mengunjungi Provinsi Ōmi di tahun 815. Catatan dalam Nihon Kōki merupakan sejarah tertulis pertama tentang tradisi minum teh di Jepang.

Pada masa itu, teh juga masih berupa teh hasil fermentasi setengah matang mirip Teh Oolong yang dikenal sekarang ini. Teh dibuat dengan cara merebus teh di dalam air panas dan hanya dinikmati di beberapa kuil agama Buddha. Teh belum dinikmati di kalangan terbatas sehingga kebiasaan minum teh tidak sempat menjadi populer.

Di zaman Kamakura, pendeta Eisai dan Dogen menyebarkan ajaran Zen di Jepang sambil memperkenalkan matcha yang dibawanya dari Tiongkok sebagai obat. Teh dan ajaran Zen menjadi populer sebagai unsur utama dalam penerangan spiritual. Penanaman teh lalu mulai dilakukan di mana-mana sejalan dengan makin meluasnya kebiasaan minum teh.

Permainan tebak-tebakan daerah tempat asal air yang diminum berkembang di zaman Muromachi. Permainan tebak-tebakan air minum disebut Tōsui dan menjadi populer sebagai judi yang disebut Tōcha. Pada Tōcha, permainan berkembang menjadi tebak-tebakan nama merek teh yang yang diminum.

Pada masa itu, perangkat minum teh dari dinasti Tang dinilai dengan harga tinggi. Kolektor perlu mengeluarkan banyak uang untuk bisa mengumpulkan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh menjadi populer di kalangan daimyo yang mengadakan upacara minum teh secara mewah menggunakan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh seperti ini dikenal sebagai Karamono suki dan ditentang oleh nenek moyang ahli minum teh Jepang yang bernama Murata Jukō. Menurut Jukō, minuman keras dan perjudian harus dilarang dari acara minum teh. Acara minum teh juga harus merupakan sarana pertukaran pengalaman spiritual antara pihak tuan rumah dan pihak yang dijamu. Acara minum teh yang diperkenalkan Jukō merupakan asal-usul upacara minum teh aliran Wabicha.

Wabicha dikembangkan oleh seorang pedagang sukses dari kota Sakai bernama Takeno Shōō dan disempurnakan oleh murid (deshi) yang bernama Sen no Rikyū di zaman Azuchi Momoyama. Wabicha ala Rikyū menjadi populer di kalangan samurai dan melahirkan murid-murid terkenal seperti Gamō Ujisato, Hosokawa Tadaoki, Makimura Hyōbu, Seta Kamon, Furuta Shigeteru, Shigeyama Kenmotsu, Takayama Ukon, Rikyū Shichitetsu. Selain itu, dari aliran Wabicha berkembang menjadi aliran-aliran baru yang dipimpin oleh daimyo yang piawai dalam upacara minum teh seperti Kobori Masakazu, Katagiri Sekijū dan Oda Uraku. Sampai saat ini masih ada sebutan Bukesadō untuk upacara minum teh gaya kalangan samurai dan Daimyōcha untuk upacara minum teh gaya daimyō.

Sampai di awal zaman Edo, ahli upacara minum teh sebagian besar terdiri dari kalangan terbatas seperti daimyo dan pedagang yang sangat kaya. Memasuki pertengahan zaman Edo, penduduk kota yang sudah sukses secara ekonomi dan membentuk kalangan menengah atas secara beramai-ramai menjadi peminat upacara minum teh.

Kalangan penduduk kota yang berminat mempelajari upacara minum teh disambut dengan tangan terbuka oleh aliran Sansenke (tiga aliran Senke: Omotesenke, Urasenke dan Mushanokōjisenke) dan pecahan aliran Senke.

Kepopuleran upacara minum teh menyebabkan jumlah murid menjadi semakin banyak sehingga perlu diatur dengan suatu sistem. Iemoto seido adalah peraturan yang lahir dari kebutuhan mengatur hirarki antara guru dan murid dalam seni tradisional Jepang.

Joshinsai (guru generasi ke-7 aliran Omotesenke) dan Yūgensai (guru generasi ke-8 aliran Urasenke) dan murid senior Joshinsai yang bernama Kawakami Fuhaku (Edosenke generasi pertama) kemudian memperkenalkan metode baru belajar upacara minum teh yang disebut Shichijishiki. Upacara minum teh dapat dipelajari oleh banyak murid secara bersama-sama dengan metode Shichijishiki.

Berbagai aliran upacara minum teh berusaha menarik minat semua orang untuk belajar upacara minum teh, sehingga upacara minum teh makin populer di seluruh Jepang. Upacara minum teh yang semakin populer di kalangan rakyat juga berdampak buruk terhadap upacara minum teh yang mulai dilakukan tidak secara serius seperti sedang bermain-main.

Sebagian guru upacara minum teh berusaha mencegah kemunduran dalam upacara minum teh dengan menekankan pentingnya nilai spiritual dalam upacara minum teh. Pada waktu itu, kuil Daitokuji yang merupakan kuil sekte Rinzai berperan penting dalam memperkenalkan nilai spiritual upacara minum teh sekaligus melahirkan prinsip Wakeiseijaku yang berasal dari upacara minum teh aliran Rikyū.

Di akhir Keshogunan Tokugawa, Ii Naosuke menyempurnakan prinsip Ichigo ichie (satu kehidupan satu kesempatan). Pada masa ini, upacara minum teh yang sekarang dikenal sebagai sadō berhasil disempurnakan dengan penambahan prosedur sistematis yang riil seperti otemae (teknik persiapan, penyeduhan, penyajian teh) dan masing-masing aliran menetapkan gaya serta dasar filosofi yang bersifat abstrak.

Memasuki akhir zaman Edo, upacara minum teh yang menggunakan matcha yang disempurnakan kalangan samurai menjadi tidak populer di kalangan masyarakat karena tata krama yang kaku. Masyarakat umumnya menginginkan upacara minum teh yang bisa dinikmati dengan lebih santai. Pada waktu itu, orang mulai menaruh perhatian pada teh sencha yang biasa dinikmati sehari-hari. Upacara minum teh yang menggunakan sencha juga mulai diinginkan orang banyak. Berdasarkan permintaan orang banyak, pendeta Baisaō yang dikenal juga sebagai Kō Yūgai menciptakan aliran upacara minum teh dengan sencha (Senchadō) yang menjadi mapan dan populer di kalangan sastrawan.

Pemerintah feodal yang ada di seluruh Jepang merupakan pengayom berbagai aliran upacara minum teh, sehingga kesulitan keuangan melanda berbagai aliran upacara minum teh setelah pemerintah feodal dibubarkan di awal era Meiji. Hilangnya bantuan finansial dari pemerintah feodal akhirnya digantikan oleh pengusaha sukses seperti Masuda Takashi lalu bertindak sebagai pengayom berbagai aliran upacara minum teh.

Pada tahun 1906, pelukis terkenal bernama Okakura Tenshin menerbitkan buku berjudul The Book of Tea di Amerika Serikat. Memasuki awal abad ke-20, istilah sadō atau chadō mulai banyak digunakan bersama-sama dengan istilah cha no yu atau Chanoyu.

Aliran upacara minum teh Lihat pula Referensi
 
Furoshiki adalah kain berbentuk segi empat dengan beragam warna dan corak yang kerap digunakan untuk mengemas, menjinjing dan menyimpan barang-barang. Kerap digunakan sebagai pembungkus hadiah, dibentangkan di lantai sebagai alas lantai atau pun sekedar menjadi dekorasi ruangan.

Awalnya furoshiki digunakan di rumah pemandian umum -pusat berkumpulnya masyarakat kalangan biasa – sebagai kain pembuntal pakaian dan perlengkapan mandi mereka yang pergi membersihkan diri di tahun 1600-an. Selanjutnya, penggunaan furoshiki sebagai kain pembuntal cepat tersebar seiring dengan meningkatnya aktifitas masyarakat di masa tersebut.

Pada perkembangan berikutnya, Furoshiki juga digunakan saat pesta pernikahan sebagai pembuntal seserahan. Kain yang digunakan umumnya bermotif burung bangau, kipas, pohon cemara dan ombak yang dipercaya akan membawa berkah dan kebahagiaan bagi penggunanya.

Belakangan ini pengunaan furoshiki untuk membuntal barang bawaan kembali dihidupkan sebagai gerakan untuk menjaga lingkungan sekaligus pengkajian kembali budaya tradisional Jepang. Sejumlah cara penggunaan yang inovatif pun bermunculan. Furoshiki menjadi lebih digemari dan semakin sering digunakan misalnya sebagai tas, sebagai pembungkus kado dan dekorasi interior.

Hal yang terpenting dari furoshiki ini adalah konsep ‘penggunaan’ yang berulang. Furoshiki tidak untuk digunakan sekali pakai. Menggunakan furoshiki juga berarti mengurangi penggunaan materi baru untuk pengemasan sekaligus mengurangi pengunaan kemasan yang berlebihan. Sebagai tambahan para penggunanya juga memberikan kontribusi bagi penghematan sumber energi.